Minggu, 05 Februari 2012

MIQAT UMRAH & HAJI

Miqat adalah batas di mana seorang muslim berniat memulai ibadah Umrah atau Haji. Ada dua jenis Miqat yaitu Miqat Zamani dan Miqat Makani.

Miqat Zamani yaitu batas waktu seorang muslim boleh melakukan ibadah Haji. Sedang ibadah umrah boleh dilakukan kapan saja, terutama di luar waktu haji, karena bila dilakukan masa masa Haji maka umrah tersebut akan terikat sekaligus dengan ibadah haji. 

Miqat Zamani untuk Haji yaitu antara bulan Syawal sampai bulan Dzulhijjah.


Miqat Makani yaitu batas tempat untuk berniat umrah atau Haji. Ada lima tempat agak jauh dari Kota Suci Mekkah di mana seorang muslim harus melewatinya dalam keadaan ihram jika mereka berniat untuk masuk Masjidil Haram untuk umrah atau haji. Lihat peta lokasi Miqats

Dhu'l-Hulayfah: Miqat ini sekitar 9 kilometer dari Madinah atau sekitar 450 kilometer dari Makkah. Dhu'l-Hulayfah adalah miqat bagi mereka yang tinggal di Madinah dan bagi mereka yang mendekati Makkah dari arah itu.

Juhfah: Miqat ini sekitar 190 kilometer di barat laut kota Mekah. Ini adalah miqat bagi orang-orang yang datang dari arah Suriah.

Qarn al-Manazil: Miqat Ini adalah tempat yang berbukit-bukit sekitar 90 kilometer di sebelah timur Makkah. Ini adalah miqat bagi penduduk Najd atau bagi mereka yang datang dari arah itu. Termasuk Jamaah Indonesia yang biasanya memakai pesawat udara.

Dhat Irq: Miqat ini sekitar 85 kilometer ke arah sisi timur laut dari Makkah. Ini adalah miqat bagi rakyat Iran, Irak dan bagi mereka yang datang dari arah itu.

Yalamlam: Miqat Ini adalah daerah perbukitan sekitar 50 kilometer di sebelah tenggara Mekah. Ini adalah miqat bagi penduduk Yaman dan orang lain yang datang dari arah itu. Ini adalah miqat bagi banyak peziarah dari Indonesia, China, Jepang, India, Pakistan yang datang dengan kapal laut.

Daerah di luar Haram, tanah suci dimana Kota Makkah berdiri, disebut al-Hill. Seorang Muslim yang masuk ke area Haram untuk bisnis atau untuk tujuan lain, tidak perlu melakukan ihram sebelum memasuki Kota Suci Mekah; kecuali mereka memiliki niat untuk melakukan umrah atau haji. Seorang Muslim yang  datang ke Mekah dengan maksud melakukan umrah atau haji harus melewati Miqat lebih dulu dalam keadaan ihram, kecuali mereka hidup dalam daerah antara Miqat dan Haram. Dalam hal ini, mereka melakukan ihram dari rumah atau sebelum memasuki area Haram.

Keutamaan Umrah,"Dipenuhi Hajat Keperluannya"

Rasulullah Shallalahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda: Orang yang berperang (fi sabilillah), orang yang berhaji dan orang yang umrah adalah utusan Allah. Allah memanggil mereka lalu mereka memenuhi panggilannya dan mereka meminta kepadaNya lalu Dia memenuhi permintaan mereka.? (HR. Ibnu Majah dll dengan sanad sahih)

Tata Cara Ibadah Umrah

(in English)

Alhamdulillah wa laa haula wa quwwata illa billah.. Asyhadu an laa ilaa ha illallah, Muhammadarrasulullah.

Segala sesuatu yang dikerjakan tanpa ilmu pasti tertolak atau tidak diterima oleh Allah SWT. Sehingga setiap muslim harus berusaha lebih pandai dan lebih memahami agamanya dari hari ke hari. Beragama dengan cara ikut-ikutan (taqlid) tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.. yang dibenarkan adalah dengan cara Ittiba'ur Rasul atau mengikut Rasulullah dengan memahami dalil-dalil yang benar.

Dalam mempersiapkan ibadah umrah banyak terkesan calon jamaah terlalu terfokus pada persiapan lahirah seperti tas, koper, pakaian, selamatan, dll. Seharusnya mereka memahami bahwa persiapan ruhiyah serta ilmu tentang ibadah ini sangatlah lebih penting, karena pada hakekatnya mereka sedang akan melakukan perjalanan suci, yang bukan sekedar perjalanan tour biasa.

Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk mempersiapkan diri lebih baik untuk ibadah umrah kita serta keluarga.

INTI MANASIK UMRAH

1. Ihram dari miqat
2. Thawaf
3. Sa'i
4. tahallul (mencukur atau memotong rambut)

LARANGAN KETIKA IHRAM

1. Mencukur atau memotong rambut
2. Memotong kuku
3. Memakai parfum
4. Melaksanakan akad nikah
5. Bercumbu disertai syahwat
6. Jima'
7. Berburu
8. Menutup kepala bagi laki-laki
9. Memakai pakaian berbentuk (berjahit) bagi laki-laki
10. Memakai sarung tangan dan penutup wajah (cadar/niqab) agi perempuan


TATA CARA PELAKSANAAN UMRAH

1. Jika seseorang akan melaksanakan umrah, dianjurkan untuk mempersiapkan diri sebelum berihram dengan mandi sebagaimana seorang yang mandi junub (mandi besar), memakai wangi-wangian yang terbaik jika ada (wangi-wangian untuk tubuh dan tidak boleh mengenai pakaian ihram) dan memakai pakaian ihram.

2. Pakaian ihram bagi laki-laki berupa dua lembar kain ihram yang berfungsi sebagai sarung dan penutup pundak. Adapun wanita, ia memakai pakaian yang telah disyari'atkan yang menutupi seluruh tubuhnya, namun tidak dibenarkan memakai cadar/niqab (penutup wajahnya) dan tidak dibolehkan memakai sarung tangan.

3. Berihram dari miqat untuk umrah dengan mengucapkan:

لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ عُمْرَةً , اَللَّهُمَّ هَذِهِ عُمْرَة لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَ لاَ سُمْعَة

Labaika Allahumma 'Umrotan, Alloohumma haadzihi umroh laa riyaa' a fiihaa wa laa sum'ah
Aku penuhi panggilanMu (ya Allah untuk melaksanakan ibadah) umrah. Ya Allah, ini adalah umrah yang tidak ada riya' (ingin dilihat) dan sum'ah (ingin didengar) di dalamnya.? (HR. Bukhari dan Al-Baihaqi).

4. Jika khawatir tidak dapat menyelesaikan umrah karena sakit atau adanya penghalang lain, maka dibolehkan mengucapkan persyaratan setelah mengucapkan kalimat diatas dengan mengatakan:

إِنْ حَبَسَنِيْ حَابِسٌ فَمَحِلِّيْ حَيْثُ حَبَسْتَنِيْ

Inn habasanii haabisun famahillii haitsu habastanii

Jika ada halangan yang menghalangiku maka tempat tahallulku adalah dimana Engkau menahan aku.? (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan mengucapkan persyaratan ini -baik dalam umrah maupun ketika haji-, jika seseorang terhalang untuk menyempurnakan manasiknya, maka dia diper-bolehkan bertahallul dan tidak wajib membayar dam (menyembelih seekor kambing).

5. Tidak ada shalat khusus untuk berihram, namun jika bertepatan dengan waktu shalat wajib, maka shalatlah lalu berihram setelah shalat. Atau shalat sunnah wudhu. Kecuali jika miqatnya dari Madinah (Dzul Hulaifah atau Bir Ali) maka disunnahkan shalat dua raka?at dikarenakan keistimewaan dan barokah tempat tersebut. (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

6. Setelah mengucapkan "talbiyah umrah" (pada point ke tiga), dilanjutkan dengan membaca dan memperbanyak talbiyah berikut ini, sambil mengeraskan suara hingga tiba di Makkah.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ.

LabbaikAlloohumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik, innalhamda wanni?mata laka wal mulk, laa syariika lak

Aku memenuhi panggilanMu, ya Allah aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, aku memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya pujaan dan nikmat adalah milikMu, begitu juga kerajaan, tiada sekutu bagiMu. (HR. Bukhari dan Muslim).

7. Masuk Masjidil Haram dengan mendahulukan kaki kanan sambil membaca do'a masuk masjid:

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي ذُنُوْبِي وَ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.

A'uudzu billaahil 'adhim, wa biwajhihil kariim, wa sulthoonihil qodiim, minasy syaithoonir rojiim, bismillaah, washsholaatu wassalaamu 'ala rosuulillaah, Allohummaghfirlii dzunuubii waftahlii abwaaba rohmatik

Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajahNya Yang Mulia dan kekuasaanNya yang abadi, dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu-pintu rahmatMu untukku.?
(HR. Abu Dawud, Ibnu As-Sunni, Abu Dawud, Muslim, Sunan Ibnu Majah)

8. Mengangkat kedua tangan ketika melihat Ka'bah sambil membaca:

اَلَّلهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَ مِنْكَ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ
Alloohumma antas Salaam wa minkas Salam fahayyinaa Robbanaa bis Salaam

Ya Allah, Engkau adalah As-Salaam (Maha Penebar Kesejahteraan lagi selamat dari segala cacat dan kekurangan) dan dariMu kesejahteraan, maka hidupkanlah kami ?wahai Rabb kami- dengan kesejahteraan.? (Atsar Ibnu Abbas, riwayat Ibnu Abi Syaibah, Al-Baihaqi dll dengan sanad sahih).

Thawaf Umrah.

1. Menuju ke Hajar Aswad, lalu menghadapnya sambil membaca:

بِسْمِ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَر
Bismillaahi waAlloohu Akbar
"Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar." (HR. Bukhari, Al-Baihaqi dll)
lalu mengusapnya dengan tangan kanan dan menciumnya, jika tidak memungkinkan untuk menciumnya, maka cukup dengan mengusapnya, lalu mencium tangan yang mengusap Hajar Aswad. Jika tidak memungkinkan untuk mengusapnya, maka cukup dengan memberi isyarat kepadanya dengan tangan, namun tidak mencium tangan yang memberi isyarat.

2. Kemudian memulai thawaf umrah tujuh putaran, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir di Hajar Aswad pula.

3. Dan disunnahkan berlari-lari kecil (raml) pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat putaran terakhir.

4. Disunnahkan membuka bahu kanan (idhtiba') bagi laki-laki selama thawaf umrah ini.

5. Disunnahkan pula mengusap Rukun Yamani pada setiap putaran thawaf, namun tidak dianjurkan menciumnya, dan apabila tidak memungkinkan untuk meng-usapnya, maka tidak perlu memberi isyarat dengan tangan.

6. Ketika berada di antara RukunYamani dan Hajar Aswad, disunnahkan membaca:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
"Robbanaa aatinaa fiddunya hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa 'adzaaban naar"

"Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan selamatkanlah kami dari siksa api Neraka." (HR. Abu Dawud dll dengan sanad sahih).

7. Setelah thawaf, menutup kedua pundaknya, lalu menuju ke maqam Ibrahim sambil membaca:

    "Wat takhidzuu mim Maqoomi Ibroohima mushollaa"

    "Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat." (QS. Al-Baqarah: 125. HR. Muslim)

8. Shalat sunnah thawaf dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, pada rakaat pertama setelah membaca surat al-Fatihah, membaca surat Al-Kaafiruun. Dan pada rakaat kedua setelah membaca al-Fatihah membaca surat Al-Ikhlash.

9. Setelah shalat, disunnahkan minum air zam-zam dan menyirami kepala dengannya.

10. Kembali ke Hajar Aswad, bertakbir lalu mengusap dan menciumnya, jika hal itu memungkinkan, atau mengusapnya atau memberi isyarat kepadanya.

Sa'i Umrah.

1. Kemudian menuju ke bukit Shafa untuk melaksanakan Sa'i umrah, dan jika telah mendekat Shafa membaca:

"Innash Shoffaa wal Marwata min sya'aa irillaah, faman hajjal baita awi'tamaro falaa junaaha 'alaihi Ayyath thowwafa bihimaa, wa man ta thowwa'a khoiron fa innaAllooha Syaakirun 'Aliim?
Abda'u bimaa bada'a Alloohu bih"

"Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 158)

"Aku memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya (memulai sa'i dari Shafaa menuju Marwah)." (HR. Muslim).

2. Menaiki bukit Shafa lalu menghadap ke arah Ka'bah hingga melihatnya, jika hal itu memungkinkan, kemudian membaca:

اَللهُ أَكْبَر, اَللهُ أَكْبَر, اَللهُ أَكْبَر, لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، يُحِْيى وَ يُمِيْتُ, وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ

Alloohu Akbar, Alloohu Akbar, Alloohu Akbar, Laa Ilaaha Illallooh Wahdahuu Laa Syariikalah, Lahul Mulku Walahul Hamdu, yuhyii Wa yumiitu, Wa huwa ?Ala Kulli Syai? in Qodiir, Laa Ilaha Illallooh Wah dahu Laa Syarikalah Anjaza Wa?dah Wa nashro ?Abdah Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah.

"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Esa, Tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan pujian. Dia Menghidupkan dan Mematikan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, Tiada sekutu bagiNya, yang melaksanakan janjiNya, membela hambaNya (Muhammad SAW) dan mengalahkan golongan musuh sendirian." (HR. Muslim, An-Nasa'i dan Ibnu Majah).

3. Bacaan ini dilakukan/diulangi tiga kali dan berdo'a di antara pengulangan-pengulangan itu dengan do'a apa saja yang dikehendaki.

4. Lalu turun dari Shafa dan berjalan menuju ke Marwah.

5. Disunnahkan berlari-lari kecil dengan cepat dan sungguh-sungguh di antara dua tanda lampu hijau yang berada di Mas'a (tempat sa'i), lalu berjalan biasa menuju Marwah dan menaikinya.

6. Setibanya di Marwah, kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan di Shafa, yaitu menghadap kiblat, bertakbir, membaca dzikir pada point no. 2 dan berdo'a dengan do'a apa saja yang dikehendaki, perjalanan ini (dari Shafa ke Marwah) dihitung satu putaran.

7. Kemudian turunlah, lalu menuju ke Shafa dengan berjalan ditempat yang ditentukan untuk berjalan dan berlari ditempat yang ditentukan untuk berlari, lalu naik ke Shafa dan lakukan seperti semula, dengan demikian terhitung dua putaran.

8. Lakukan hal ini sampai tujuh kali dengan berakhir di Marwah.

9. Ketika sa'i, tidak ada dzikir-dzikir tertentu, maka boleh berdzikir, berdo'a atau membaca bacaan-bacaan yang dikehendaki.

10. Jika membaca do'a ini:

رَبِّ اغْفِرْ وَ ارْحَمْ إِنَّكَ أَنْتَ اْلأَعَزُّ اْلأَكْرَم

Robbighfir Warham Innaka Antal A?azzul Akrom

"Ya Tuhan, ampuni dan sayangi (hamba), sesungguhnya Engkau adalah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia." (Doa Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud, riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih).

11. Setelah sa'i, maka bertahallul dengan memendekkan seluruh rambut kepala atau mencukur gundul, dan yang mencukur gundul itulah yang lebih afdhal. Adapun bagi wanita, cukup dengan memotong rambutnya sepanjang satu ruas jari.

12. Setelah memotong/mencukur rambut, maka berakhirlah ibadah umrah dan anda telah dihalalkan/dibolehkan untuk mengerjakan hal-hal yang tadinya dilarang ketika dalam keadaan ihram.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menerima semua amal ibadah kita, amien.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan pengikut mereka yang setia sampai hari kiamat dan segala puji hanya bagi Allah.

Sumber : http://www.kajianislam.net/modules/smartsection/item.php?itemid=64

Tata Cara Ibadah Umrah Bahasa Inggris

WAJIBNYA ITTIBA’ KEPADA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM


Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah mewajibkan kepada setiap orang yang beriman agar mentaati dan mengikuti (ittiba‘) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjadikan beliau sebagai satu-satunya hakim, taslim (tunduk) pada keputusan beliau dan tidak menyalahi perintah beliau baik ketika beliau masih hidup maupun telah wafat. Dan ketaatan itu menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah adalah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah dengan mengikuti Sunnah.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/568)]
Allah Jalla Dzikruhu telah berfirman,
وَأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْاۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُواأَنَّمَاعَلَى رَسُوْلِنَاالْبَلَغُ الْمُبِيْنُ ۝
Artinya: “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul(Nya) serta berhati-hatilah. Jika kamu berpaling maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Qs. Al-Ma’idah: 92)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى .
Artinya: “Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.” Mereka (para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau: “Barang siapa yang mentaatiku pasti akan masuk Surga, dan barang siapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 7280) dan Ahmad (II/361), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Wajib bagi setiap mukallaf (orang terbebani kewajiban syar’i) untuk senantiasa mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh mengikuti orang selain beliau. Sampai-sampai, kalau saja Nabi Musa ‘alaihis salam berada diantara manusia, kemudian manusia mengikuti syari’atnya dan meninggalkan syari’at yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pastilah dia akan tersesat. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
وَالَّذِي نَفْسِي مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْأَصْبَحَ فِيْكُمْ مُوْسَى ثُـمَّ اتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُـمْ .
Artinya: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa berada diantara kalian, kemudian kalian mengikuti (ajaran)nya dan meninggalkan (ajaran)ku, niscaya kalian akan tersesat.” [Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (III/470-471 dan IV/265-266)]
Jika seorang Musa ‘alaihis salam saja tidak boleh untuk diikuti setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan risalahnya, maka bagaimana orang selain beliau boleh untuk diikuti, padahal ajarannya bertolak belakang dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …?!
Dengan demikian, wajib bagi setiap jiwa yang mengaku sebagai seorang muslim untuk menerima segala ketetapan Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan batin tanpa penolakan sedikit pun dan dalam bentuk apa pun. Itulah yang menjadi ‘aqidah seorang Muslim.
KAPANKAH HARUS TAQLID?
Taqlid tidaklah tercela dan terlarang secara mutlak. Ada bentuk taqlid yang memang terlarang secara mutlak, ada juga bentuk taqlid yang malah diwajibkan, dan ada pula bentuk taqlid yang boleh untuk dilakukan karena beberapa sebab.
Imam lbnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah membagi taqlid menjadi tiga macam, yaitu: [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (III/447)]
Pertama, Taqlid yang diharamkan,
Ada tiga jenis taqlid yang diharamkan, yaitu:
1. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga manusia berpaling dari apa yang telah diturunkan Allah. Contohnya: Kaum Jahiliyyah yang taqlid kepada ajaran nenek moyang mereka untuk menyembah berhala. Sebagaimana disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
وَكَذَ لِكَ مَآ أَرْ سَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَّذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَ فُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ ۝ قَـلَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْـدَى مِمَّا وَجَدْتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْۖ قَالُوا إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَفِرُونَ ۝
Artinya: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ Rasul itu berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.” (Qs. Az-Zukhruf: 23-24)
2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia pantas diambil perkataannya ataukah tidak. Contohnya: Taqlidnya seseorang kepada orang lain yang tidak diketahui asal usulnya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبِإٍ فَتَبَـيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ ۝
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu dengan membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang nanti akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat: 6)
3. Taqlid kepada perkataan seseorang, padahal dia mengetahui adanya hujjah (bukti) dan dalil yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut. Contohnya: Taqlid yang dilakukan kaum Yahudi dan Nashara kepada para pendeta dan rahib mereka, sehingga mereka berpaling dari dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
إِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُـمْ أَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللهِ … ۝
Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai rabb selain Allah…” (Qs. At-Taubah: 31)
Kedua, Taqlid yang diwajibkan,
Taqlid yang diwajibkan adalah taqlid kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Ini bukanlah taqlid dalam arti yang sebenarnya, melainkan dia bermakna kepada ittiba’. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu dari Rabbul ‘Izzati yang terpelihara, sehingga manusia yang berpegang kepada keduanya tidak akan sesat selama-lamanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ ۝
Artinya: “Katakanlah (Muhammad): ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, ketahuilah sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (Qs. Ali ‘Imran: 32)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَلَّفْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِى وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَىَّ الْحَوْضَ .
Artinya: “Aku tinggalkan (untuk kalian) dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendapatiku di Al-Haudh (telaga di Surga).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al-Hakim (I/93), Al-Baihaqi (X/114) dan Malik (hal. 686), dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu]
Ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang dibolehkan adalah taqlid yang dilakukan oleh seorang awam kepada orang yang lebih ‘alim dan memiliki kemampuan untuk berijtihad, karena orang tersebut tidak mampu untuk melakukan tahqiq (penelitian dalil) dan tarjih (menyimpulkan hukum yang paling dekat kebenarannya dengan dalil) dalam menentukan hukum syari’at. Para ulama bersepakat bahwa seorang awam boleh taqlid kepada ulama yang berjalan di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai perwujudan firman Allah Ta’ala,
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ۝
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.(Qs. Al-Anbiya’: 7)
Akan tetapi, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan berkaitan dengan dibolehkannya taqlid dalam kondisi semacam ini, antara lain:
1. Seorang yang taqlid adalah seorang yang benar-benar awam terhadap perkara syari’at dan tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Hendaknya orang yang menjadi sasaran taqlid adalah orang yang baik agamanya, dan ilmunya mendalam, serta memiliki kemampuan untuk berijtihad.
3. Orang yang taqlid itu belum mengetahui adanya pendapat lain yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat yang dia pegangi secara taqlid.
4. Tidak boleh untuk taqlid pada permasalahan yang menyelisihi nash syari’at atau ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
5. Orang yang taqlid tidak boleh mewajibkan dirinya untuk mengambil satu madzhab saja dalam semua perkara syari’at. Hendaknya dia berusaha untuk mencari kebenaran dan berpegang pada pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Meskipun pendapat tesebut ada di berbagai madzhab.
6. Tidak boleh berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya dengan tujuan mencari rukhshah (keringanan) dan mencari kemudahan dalam menjalankan syari’at. Sehingga dia hanya mengambil yang dia anggap paling ringan dan paling sesuai dengan nafsunya.
[Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/170), I’lamul Muwaqqi’in (III/462), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 197), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 594-597), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 300-301)]
BOLEHKAH BERMADZHAB?
Diperbolehkan bagi seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu karena dua hal:
Pertama, ketidakmampuannya dalam memahami nash-nash agama,
Kedua, dengan mengikuti madzhab tertentu, dapat mencegahnya dari dampak buruk yang timbul akibat ketidaktahuannya terhadap perkara syari’at. Misalnya, membuat pendapat baru yang sama sekali tidak pernah disampaikan oleh ulama.
[Lihat Majmu’ Fatawa (XI/514 dan XX/209), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 195), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 302)]
Meskipun demikian, orang tersebut harus tetap berusaha menuntut ilmu syar’i dan tidak boleh merasa cukup dengan apa yang diperolehnya dari madzhab yang dia ikuti. Sehingga apabila dia mendapati pendapat lain yang lebih benar dari pendapat madzhab yang dia ikuti, wajib baginya untuk meninggalkan pendapat yang salah dan mengambil pendapat yang benar tersebut.
***
Islam ditegakkan di atas ilmu. Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan syari’at haruslah dilandasi dengan ilmu. Adapun taqlid, itu bukanlah ilmu, sehingga orang-orang yang taqlid tidak boleh mengatakan bahwa pendapat orang yang dia ikuti itu adalah pendapat yang paling benar, sampai dia mampu untuk melakukan pembuktian secara ilmiyah bahwa pendapat tersebut adalah benar.
Dengan demikian, wajib bagi seluruh manusia yang menginginkan keselamatan di dunia maupun di akhirat untuk senantiasa berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menyelisihinya karena perkataan atau perbuatan manusia. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling utama untuk diikuti dan petunjuknya adalah sebaik-baik petunjuk.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَۗ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ ۝
Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (Qs. Al-A’raf: 3)
Pada ayat di atas, Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengikuti apa yang telah diturunkan-Nya melalui perantara hamba-Nya, yakni Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah melarang kita untuk mengikuti perintah selain dari perintah-Nya.
Hendaknya orang-orang yang taqlid itu mengetahui sumber pengambilan hukum dari orang yang ditaqlidinya dalam rangka mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghormati para ulama rahimahumullah. Dan barang siapa yang menganggap bahwa taqlid tanpa ilmu itu sebagai perbuatan baik maka ketahuilah, bahwa tidak ada kebaikan sama sekali dalam taqlidnya itu. Karena para ulama ber-Islam atas dasar ilmu dan ittiba’, bukan atas dasar ra’yu (pemikiran/persangkaan dengan akal) dan hawa nafsu semata.
والله تعالى أعلم
سبحانك اللهم وبحمدك أشهـد أن لا إله إلا أنت، استغـفـرك وأتوب إليك
***
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Azh-Zhahiri, cetakan Maktabah Athif, Kairo.
2. Al-Masa’il Jilid 3, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah, Jakarta.
3. Antara Taqlid dan Ittiba’, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, dimuat dalam Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V, Gresik.
4. I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin Jilid 3 dan 4, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
5. Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi Jilid 1 dan 2, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdil Barr, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
6. Kitabul ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Tsuraya, Riyadh.